Cantik dan tampan memang relatif, tapi kebutuhan memoles wajah dan merawat tubuh menjadi mesin uang bagi industri kecantikan.
Sorakan dan tepuk tangan penonton bergemuruh. “Aku setuju, setuju,” sahut Ellen.
“Kita punya lebih banyak barang yang mau dibeli.”
“Betul sekali!” sahut Ellen, lagi.
“Kita punya lebih banyak barang yang mau dibeli. Maksudku, ada hal-hal yang kita harus lakukan tapi tidak harus dilakukan laki-laki—cuma untuk dianggap serius di dunia ini. Coba lihat semua ini!” telapak tangan Wanda berputar-putar di depan mukanya. “Make-up!”
Tawa penonton makin keras.
“Ini tuh industri miliaran dolar!” tangan Wanda masih berputar-putar. “Ini tuh kayak Halloween setiap hari buat kita (perempuan),” sambung Wanda. Ellen yang duduk di depannya terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan.
Wanda memang seorang komedian. Citranya selalu konyol dan banyolannya terkenal bikin perut mulas. Namun, Wanda yang seorang lesbian juga punya reputasi baik sebagai aktivis. Ia penyeru kesetaraan gender, vokal tentang kesehatan melawan kanker sebab ia sendiri seorang penyintas. Ia tipikal pelawak melek politik yang selalu punya pesan-pesan positif dalam karyanya.
Obrolan Wanda dengan Ellen memang terdengar lucu. Tapi, kata-katanya tak meleset. Pendapatan industri kosmetik dan perawatan tubuh memang sampai miliaran dolar. Tepatnya, 5,501 miliar dolar AS pada 2018, menurut Statista.
Perkataan Wanda tentang perempuan yang punya lebih banyak barang untuk dibeli juga tak salah-salah amat. Kosmetik dan produk-produk perawatan tubuh memang jadi pengeluaran terbesar kedua perempuan, setelah kebutuhan sehari-hari seperti makan dan ongkos transportasi.
Menurut riset pasar Zap Beauty Index yang dirilis pertengahan Agustus kemarin, perempuan Indonesia mengeluarkan paling sedikit 20 persen dari total uang belanja bulanan untuk membeli produk fesyen dan kecantikan. Bahkan mereka yang berusia antara 18 hingga 23 tahun alias Generasi Z bisa merogoh kocek Rp200 ribu – Rp400 ribu per bulan, atau sampai 40 persen uang bulanan untuk membeli produk fesyen dan kecantikan.
Dalam survei yang sama, yang diambil dari 17.899 responden itu, perempuan Milenial Indonesia (lahir antara 1977-1995) menghabiskan antara Rp400 ribu hingga Rp1 juta di klinik kecantikan. Sedangkan perempuan Generasi X, atau usia antara 42 hingga 53 tahun, tak segan mengeluarkan Rp1 juta hingga Rp3 juta per bulan untuk belanja fesyen, produk kecantikan, dan perawatan di klinik kecantikan.
Rupanya itu cuma angka rata-rata. Tirto menemui beberapa perempuan dari tiap-tiap generasi untuk membuktikan pengeluaran besar pada kosmetik tersebut. Beberapa bahkan bisa mengeluarkan dalam jumlah yang lebih banyak.
Salah satunya Ayu Nurcaya, seorang wartawan bisnis. Umur Ayu 26 tahun, termasuk golongan Generasi Milenial paling muda. Ia mengaku biaya membeli semua produk kecantikan bisa sampai 25 persen dari pendapatan per bulannya.
Di dalamnya termasuk skin care, make-up sehari-hari, perawatan tubuh, dan konsultasi ke dokter. Tapi, belakangan Ayu sudah lepas dari dokter. “Udah mutusin lepas, jadi sekarang belajar sendiri (tentang ingredients produk). Paling sesekali kalau mau facial atau pijat aja ke dokter,” kata Ayu. “Pijat itu maksudnya paling treatment yang lain kayak peeling wajah.”
Najwa Azzahra, karyawan swasta yang berkantor di bilangan Kuningan, Jakarta, juga punya bujet khusus buat belanja kosmetik dan perawatan tubuh. Ibu berusia 47 tahun yang termasuk Generasi X ini menyebut pengeluaran belanja kosmetik dan perawatannya bisa lebih dari 30 persen per bulan. Daripada kosmetik khusus riasan wajah, Najwa lebih sering melakukan perawatan tubuh dan membeli skin care.
“Kalau daily make-up kan sederhana aja, ya. Paling lipstik, pensil alis, sama bedak. Make-up tuh paling dipakai pas kondangan aja. Kalau saya (pakai uangnya) lebih ke perawatan sih, skin care juga sih, tapi lebih besar ke perawatan,” ungkap Najwa kepada saya.
Menurutnya, membuat bujet khusus untuk pengeluaran kosmetik dan perawatan tubuh sangat penting, terutama agar tetap menjaga neraca pengeluaran rumah tangga. “Kalau kebanyakan, nanti kasihan anak saya. Uang jajannya berkurang,” tambah Najwa.
Meski belum berumah tangga, Ayu juga mulai membatasi pengeluarannya. “Sebenarnya kalau mau ikutin 10 step Korean skin care, masih pengin nambah banyak produk. Tapi, karena udah banyak belajar sendiri tentang bahan-bahan produk, aku jadi tahu manfaat-manfaatnya. Jadi paham enggak beli produk yang ternyata sama aja,” kata Ayu.
Memoles wajah dan merawat tubuh bukan lagi urusan perempuan-perempuan bekerja saja, macam Najwa dan Ayu. Ada Enda Ribka Meganta, biasa dipanggil Enda, seorang mahasiswa di universitas negeri di Medan, yang masih berumur 23 tahun, golongan pertama Generasi Z. Pengeluaran membeli make-up dia bisa sampai 50 persen dari uang jajan bulanan.
Sejak remaja, Enda memang senang dengan dunia rias wajah. Di akun Instagramnya, Enda tak jarang sering mengulas aneka produk kecantikan, termasuk kosmetik dan skin care.
“Yang paling primer sih buat aku masih tetap lipstik dan blush on,” kata Enda.
Lainnya, yang cukup mahal, adalah biaya konsultasi ke dokter. Ia sempat pakai beberapa jenis produk skin care, tapi dianggap tak maksimal sehingga tetap pakai jasa dokter untuk rekomendasi krim siang-malam dan sabun cuci muka.
“Per dua bulan aku bisa habis Rp300 ribu - Rp500 ribu. Itu aku bener-bener irit pakainya biar habis dua bulan. Kalau ditotal, paling dalam setahun ada 3 bulanlah yang lebih dari Rp500 ribu. Misalnya, ada produk baru yang lagi hit banget,” tambah Enda.
Juaranya Masih Korea
Kata Ayu Nurcaya, hitungan pengeluaran kosmetik dan produk kecantikan tiap bulannya masih di ambang batas normal. Pekerjaanya sebagai jurnalis tak menuntut “dandanan riweh."“Aku kan pakai daily (make-up) aja, enggak hebring, bahkan enggak sering-sering amat kayak pegawai bank,” katanya.
Yang termasuk perkakas sehari-hari apa saja?
“Yang rutin, pasti cuci muka. Itu pakai Shiseido dari Jepang, toner Cosrx dari Korea, Sunscreen ganti-ganti, sih. Kadang Biore (Jepang) atau Cosrx atau Innisfree (Korea). Dan bedak anti-shine yang juga ganti-ganti. Seringnya Innisfree, tapi sekarang lagi nyoba yang lokal, Mustika Ratu,” jawab Ayu.
Jika ditotal, hampir 90 persen produk kosmetik dan skin care yang dibelinya berasal dari Korea.
Catatan lembaga riset pasar Mitel menyebutkan pertumbuhan kosmetik dan perawatan kulit Korea mencapai 5,8 persen dari tahun ke tahun sejak 2013. Ia mengalahkan Amerika Serikat yang hanya 3,9 persen dan Britania Raya dengan pertumbuhan 2,1 persen.
Saking menjanjikan industri ini, perusahaan raksasa global, Unilever, rela mengeluarkan kocek 2,7 miliar dolar AS untuk membeli Carver Korea Co., perusahaan yang memproduksi merek AHC Skin Care. Keputusan itu bukan tanpa alasan mengingat pencapaian K-Beauty secara global tahun ini menembus 6,3 miliar dolar AS, menurut riset Euromonitor.
Dalam survei terbaru ZAP Beauty Index, Korea terbukti masih di posisi puncak sebagai negara asal merek skin care paling populer, dengan angka 46,6 persen. Yang mengejutkan, produk dalam negeri asal Indonesia menempati posisi kedua dengan 34,1 persen.
Najwa Azzahra adalah salah satu yang cocok dengan produk dalam negeri. “Untungnya kulit saya cocok-cocok aja, sih,” katanya. Baik produk kosmetik, skin care, hingga perawatan tubuh, Najwa hampir menggunakan 80-90 persen produk dalam negeri.
Untuk perawatan menghilangkan bulu di tubuh (treatment hair removal), ia menggunakan ZAP. Begitu pula untuk bedak, lipmatte, dan sunblock. Ia juga punya beberapa koleksi Wardah.
“Kalau pakai yang dari luar kadang gap harganya bisa jauh banget. Misalnya, Wardah sama Bobby Brown. Itu kan untuk produk yang sama bisa jauh banget harganya. Makanya kalau saya masih bisa pakai yang dalam negeri ya untung-untung aja, sih, kecuali kepengin banget merk tertentu.”
Lalu, mengapa mereka rela merogoh kocek dalam-dalam? Apakah semata-mata agar terlihat "cantik" dan "tampan"?
Jawabannya ternyata kurang lebih serupa. Selain karena menjadikan tata rias sebagai hobi, Enda Ribka Meganta menganggap membeli kosmetik dan produk kecantikan lain sebagai upaya merawat dan menghargai diri sendiri.
Alasan yang sama diutarakan Ayu, “Karena beneran ngerasa muka jadi sehat, walau sering enggak make-up.”
“Kalau menurutku, (pengeluaran) ini tuh sebagai bentuk reward buat diri sendiri. Dan selagi mampu, apa salahnya?” kata Najwa, retorik.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Berapa Rupiah Pengeluaran Bulanan Kita agar Tampil "Cantik"?"
Post a Comment